Sistem Tanam untuk Mengatasi Kelangkaan Pupuk Kimia

Kalau kita ngomongin dunia pertanian di Indonesia, topik soal pupuk kimia hampir nggak pernah absen dari obrolan. Bahkan, buat sebagian besar petani, pupuk kimia itu bisa dibilang kayak “nyawa kedua” tanaman mereka.

Jadi, ketika pupuk kimia bersubsidi langka, otomatis muncul keresahan yang luar biasa. Bayangin aja, petani yang setiap hari bergantung sama ketersediaan pupuk, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan bahwa barang yang mereka butuhkan itu nggak gampang ditemuin.

Kondisi ini bikin banyak petani terpaksa mutar otak. Ada yang akhirnya membeli pupuk lain yang sekilas mirip pupuk resmi produksi PT. Pupuk Indonesia, tapi ternyata kandungannya beda jauh.

Ada juga yang nekat nyobain pupuk-pupuk baru dengan klaim fantastis, misalnya segenggam pupuk bisa setara puluhan karung pupuk kandang. Padahal, kualitasnya masih belum jelas.

Nah, di sinilah masalahnya. Petani jadi berada di persimpangan: mau beli pupuk pengganti, tapi takut kecele; mau nunggu pupuk subsidi, tapi bisa kelamaan dan musim tanam terlewat.

Akhirnya, banyak yang terjebak dalam kondisi serba salah. Situasi semacam ini sudah sering terjadi dan bikin petani merasa semakin sulit bertahan.

Fenomena Kelangkaan Pupuk Kimia (Subsidi)

Kelangkaan pupuk bersubsidi bukanlah cerita baru di negri ini. Hampir setiap tahun, apalagi menjelang musim tanam besar, isu ini selalu muncul ke publik.

Persediaan pupuk subsidinya terbatas, sementara permintaan di lapangan sangat tinggi. Akibatnya, distribusi pupuk jadi tersendat dan harganya di pasaran meroket.

Di tengah situasi ini, munculah produk-produk tiruan yang sekilas terlihat mirip dengan pupuk asli. Misal kemasan pupuk dengan nama Phoska atau Poska yang desainnya hampir menyerupai pupuk NPK Phonska.

Kalau kita-nya gak teliti, tentu bisa dapat pupuk abal-abal. Di labelnya emang tertulis mirip pupuk NPK, tapi kandungan di dalamnya justru lebih mirip dolomit yang fungsinya buat menaikkan pH tanah, bukan menambah unsur hara utama seperti nitrogen, fosfor, dan kalium.

Dan kebanyakan petani tetap membelinya karena sudah kepepet dan tak adanya pilihan lain. Padahal belum tahu apakah pupuk tersebut benar-benar bagus buat tanaman, jadi kerugian pun terkadang bisa berlipat.

Kenapa Petani Bergantung pada Pupuk Kimia?

Lantas kenapa petani begitu bergantung sama pupuk kimia, khususnya pupuk bersubsidi? Ya karena memang diperlukannya efisiensi biaya dan kepastian hasil.

Pupuk kimia selama ini dianggap sebagai cara paling cepat dan praktis untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tanaman yang diberi pupuk kimia biasanya tumbuh lebih subur dalam waktu singkat.

Dengan begitu, para petani merasa aman, karena bisa dipastikan hasilnya yang nyata dalam waktu relatif cepat.

Pun ada juga faktor ekonomi, kalau harus membeli pupuk nonsubsidi, biaya produksi bisa melonjak sampai dua atau tiga kali lipat. Sementara harga panen belum tentu bagus, kadang malah jatuh di bawah biaya produksi.

Jadi ya wajar kalau petani lebih milih pupuk subsidi, karena harganya lebih terjangkau dan bisa menekan biaya operasional.

Sayangnya, kondisi seperti ini membuat para petani jadi ketergantungan. Banyak yang bahkan sampai gak mau menanam kalau pupuk kimia bersubsidi tak tersedia.

Ada semacam keyakinan bahwa tanpa pupuk kimia, hasil panen pasti anjlok. Padahal, masih ada alternatif lain seperti pupuk organik atau pupuk hayati untuk penanaman tanpa harus 100% mengandalkan pupuk kimia.

Tapi balik lagi, kebanyakan petani mungkin belum terlalu paham akan manfaat pupuk nonkimia. Sosialisasi di lapangan pun masih terbatas, ditambah ada rasa skeptis karena kerja pupuk organik cenderung lebih lambat dibanding pupuk kimia.

Akibatnya, fanatisme terhadap pupuk kimia terus berlanjut, dan setiap kali pupuk subsidi langka, masalah inipun selalu berulang.

Cara Mengatasi Kelangkaan Pupuk Kimia

Yah masalah kelangkaan pupuk kimia memanglah bikin pusing, namun kabar baiknya, ada cara untuk mengurangi ketergantungan akan pupuk kimia. Dan jawabannya tentu ada pada pemanfaatan pupuk organik dan pupuk hayati.

Selama ini, sebagian petani sebenarnya telah mulai memanfaatkan pupuk organik, tapi biasanya cuman diposisikan sebagai pupuk dasar saja. Dan untuk pupuk hayati, penggunaannya masih terbatas di kalangan tertentu—biasanya petani yang aktif ikut pelatihan atau concern dengan masalah penggunaan pupuk kimia.

Padahal kalau kedua jenis pupuk ini dikombinasikan dan digunakan secara konsisten, kebutuhan akan pupuk kimia bisa berkurang serta bisa menekan biaya produksi, bahkan tanah pun juga jadi lebih sehat untuk jangka panjang.

Dengan menekan penggunaan pupuk kimia, margin keuntungan petani bisa naik karena ongkos produksinya berkurang. Selain itu, penggunaan pupuk organik dan hayati juga bisa memperbaiki kualitas tanah yang selama ini rusak akibat pemakaian pupuk kimia berlebihan.

Jadi, solusinya ya bukan sekadar mengganti pupuk, tapi mengubah pola pikir supaya pertanian bisa lebih berkelanjutan.

1. Penggunaan Pupuk Hayati

Pupuk hayati bukanlah pupuk yang berisi unsur hara seperti N, P, atau K. Pupuk hayati lebih tepat disebut sebagai agen kehidupan karena di dalamnya ada jutaan bahkan miliaran mikroba tanah yang aktif.

Mikroba sendiri macam-macam jenisnya, dan masing-masing memiliki peranan tersendiri. Ada yang bertugas menambat nitrogen dari udara, ada yang bisa melarutkan fosfat, ada juga yang membantu melepaskan kalium dari tanah.

Berikut beberapa contohnya..

  • Mikroba penambat Nitrogen (N): Rhizobium, Azotobacter, Azospirilium
  • Mikroba pelarut Fosfat (P): Bacillus, Penicillium, Pseudomonas
  • Mikroba pelarut Kalium (K): biasanya sama dengan mikroba pelarut fosfat
  • Ada juga mikroba yang bisa melakukan tiga fungsi sekaligus yaitu menambat N, melarutkan P, dan menghasilkan hormon pertumbuhan alami (ZPT)

Kalau dianalogikan, mikroba-mikroba ini layaknya pabrik yang terus-menerus membuatkan makanan buat tanaman. Mereka bekerja dengan cara menguraikan bahan organik jadi unsur hara yang siap diserap akar.

Hasilnya, tanaman tetap mendapat nutrisi yang cukup, meski pupuk kimia yang diberikan dikurangi.

Banyak penelitian menunjukan kalau dengan pupuk hayati, penggunaan pupuk kimia bisa dipotong hingga 50%. Misal dari yang biasanya 300 kg pupuk per hektar jadi cuman 150 kg saja.

Pengaplikasiannya pun juga gampang, satu liter pupuk hayati bisa dicampur ke 200 liter air, lalu diaplikasikan dengan cara dikocor ke pangkal tanaman atau lewat irigasi tetes. Pupuk hayati pun bisa dikembangkan sendiri oleh para kelompok tani.

2. Penggunaan Pupuk Organik

Kalau pupuk hayati isinya mikroba, pupuk organik lebih ke sumber makanan dan rumah bagi mikroba tadi. Contoh paling umum adalah pupuk kandang dari kotoran sapi, ayam, atau kambing.

Ada juga pupuk kompos dari sisa tanaman, pupuk kascing hasil media cacing, hingga biochar dari sisa biomassa.

Tujuan dari pemakaian pupuk organik adalah meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah. Kalau bahan organik tanah tinggi, mikroba dari pupuk hayati bisa hidup lebih lama dan bekerja lebih optimal.

Sebaliknya, kalau bahan organik rendah, mikroba-nya gak akan bertahan lama, sehingga fungsinya jadi gak maksimal. Masalahnya, kandungan bahan organik tanah di Indonesia sekarang rata-rata cuman sekitar 2% dimana tergolong sangat rendah.

Dulu tahun 1990-an, petani padi cukup makai 200 kg pupuk per hektar, sekarang bisa sampai 300–400 kg per hektar bahkan lebih. Kalau kondisi ini terus berlanjut, 10 tahun ke depan bisa jadi butuh 500–600 kg pupuk per hektar hanya untuk mendapatkan hasil yang sama.

Selain itu, akibat pemakaian pupuk kimia yang berlebihan, pori-pori tanah makin rusak, daya simpan airnya menurun, tanah pun jadi keras serta kering. Biota tanah seperti cacing, jamur baik, dan mikroba alami pun banyak yang mati, padahal keberadaan mereka sangat penting untuk menjaga kesuburan jangka panjang.

Penutup

Jadi kalau kita simpulkan, solusi menghadapi kelangkaan pupuk kimia sebenarnya ada di depan mata. Tinggal bagaimana kita bisa mengoptimalkan peranan dari pupuk organik dan pupuk hayati ke dalam sistem tanam.

Keduanya saling melengkapi, dimana pupuk organik sebagai rumah dan makanan, dan pupuk hayati jadi pekerjanya. Dengan kombinasi ini, tanah tetap sehat, tanaman tetap subur, dan para petani bisa lebih menghemat biaya produksi.

Artinya, pupuk kimia bukanlah satu-satunya pilihan. Justru dengan berani beralih ke pola yang lebih ramah lingkungan, petani bisa mandiri, tak selalu resah tiap kali terjadinya kelangkaan pupuk subsidi.

Dan yang paling penting, tanah sebagai warisan untuk generasi berikutnya bisa tetap subur dan produktif.

About the Author: Tukang Kebun